Jualan Tahu Buat Bikin Lagu: Cerita Seniman yang Masak Demi Mimpi

Dari dapur masakan ke dapur rekaman, Jazzy Yudistira terus bermusik — sambil jualan tahu.

Bukan Teori
6 Min Read
Jazzy Yudistira, musisi Jogja yang juga berjualan tahu walik, dalam sesi podcast Bukan Teori bersama host.Bukan Teori

Di satu malam, seorang pria bernama Jazzy Yudistira berdiri di panggung kafe sebagai vokalis band. Ia menyanyi, menghibur, dan membawa semangat rock and roll ke pengunjung yang bersantai di bawah lampu temaram. Tapi, saat matahari belum sepenuhnya terbit keesokan paginya, ia sudah ada di dapur: mengulek bumbu, mengecek tepung, menimbang ayam. Hidupnya adalah simfoni antara adonan dan harmoni.

Kisah Jazzy dimulai dari panggung kecil di Jogja, kota yang tak pernah kekurangan seniman. Sejak SMP ia sudah nge-band. Dari festival ke festival, menang, kumpulkan hadiah, dan putar balik untuk produksi lagu. Tapi karya belum menembus arus utama. Jazzy belum dikenal, apalagi viral.

Saya belum menganggap diri saya seniman sukses, karena belum ada lagu yang booming. Tapi jiwanya, ya, tetap seniman.

Jazzy Yudhistira

Seperti banyak musisi independen, ia hidup dalam dua dunia: idealisme dan kebutuhan. Ketika anak dan istri menjadi tanggungan nyata, seni tak bisa hanya soal ‘nyeni’. Maka Jazzy memulai sesuatu yang baru — tahu walik dan gohyong, dua makanan yang kemudian jadi penopang hidup dan bahkan bahan bakar untuk kembali ke dapur rekaman.

Dari Mic ke Ulekan

Jazzy memulai usahanya dengan modal Rp500.000 hasil dari ngamen. Tidak punya gerobak, tidak punya pengalaman, hanya tekad dan resep yang ia racik sendiri sebanyak 23 kali sampai menemukan rasa yang “nggak keras banget.” Bumbu diracik jam 4 pagi, tepung diangkat dari pasar, ayam digiling manual, semua dilakukannya sendiri sebelum ia akhirnya mempekerjakan tim produksi.

How are innovations in robotics changing the way we perceive the world?

Yang membuat cerita ini menarik bukan hanya transisi peran Jazzy, tetapi juga momen pertemuannya dengan pemilik kafe tempat ia biasa tampil.

Awalnya saya cuma nyanyi, tapi terus saya iseng nawarin produk tahu walik. Diterima. Lalu dijadiin menu tetap.

Tiba-tiba permintaan melonjak jadi 4000 buah tahu. Panik? Jelas. Tapi ia tidak mundur. Ia cari pegawai, beli mobil buat angkut bahan, dan tetap manggung malam harinya.

Paginya pegang ulekan, malamnya pegang mic,” katanya sambil tertawa.

Dapur ke Dapur

Jazzy kini punya dua dapur: dapur produksi makanan dan dapur rekaman—meskipun yang satu masih berupa kamar tidur yang disulap ala kadarnya. Ia tetap memproduksi musik, bukan hanya untuk dirinya tapi juga klien dari Jakarta dan luar kota. Lagu-lagunya belum meledak, tapi langkahnya jelas dan konsisten.

Ada satu pengakuan yang membuat ceritanya makin kuat:

Selama ini, hasil dari UMKM saya kumpulin buat produksi musik. Tujuannya tetap: jadi musisi yang dikenal banyak orang.

Jazzy Yudhistira
Why does Bluetooth use lossy rather than lossless compression

Bukan sekadar jualan untuk hidup. Jualan tahu bagi Jazzy adalah strategi bertahan dan membangun. Menjadi musisi bukan hanya soal perform, tapi juga soal logistik—dan dalam kasusnya, soal logistik literal: dari pasar ke panci, dari tepung ke panggung.

Realita Bernama UMKM

Jazzy sempat berpikir, UMKM akan lebih mudah dibanding industri musik. Jual, lalu ada yang beli. Tapi tidak sesederhana itu. Ia menghadapi hujan, tenda bocor, gas habis, hingga kompor mogok. Belum lagi tekanan produksi saat permintaan melonjak.

Kalau hujan turun, sedih. Sepi. Pegawai bingung, saya juga bingung.

Tapi Jazzy bertahan. Bukan hanya karena kebutuhan, tapi karena ia tahu arah. UMKM bukan tujuan akhir, tapi jembatan. Ia tahu betul: tak semua orang adalah pewaris. Banyak yang harus jadi perintis. Dan Jazzy memilih jadi yang terakhir.

Pride dan Peluh

Menjadi frontman band biasanya datang dengan kebanggaan tersendiri. Jazzy pun mengaku punya pride, apalagi saat tampil. Tapi ia juga harus berdamai dengan rasa malu ketika harus ke pasar pagi-pagi, mengangkat 50 kg tepung dan ayam. Lambat laun, rasa malu itu hilang. Yang tersisa adalah rasa syukur.

Yang bikin saya terus jalan? Karena ada duitnya, pak. Realistis aja.

Jazzy Yudhistira

Bukan berarti ia meninggalkan idealisme. Ia hanya tahu bahwa impian perlu dibiayai. Kalau bukan dari tahu, dari mana lagi?

Dalam podcast berdurasi 30 menit ini, kita melihat Jazzy bukan hanya sebagai musisi atau pedagang, tapi sebagai seseorang yang terus bergerak. Ia tidak terjebak dalam narasi “usaha tidak mengkhianati hasil”, karena ia tahu kenyataan kadang tak seindah motivasi. Ia lebih percaya pada proses, pada keikhlasan, dan pada upaya yang konsisten.

Kadang usaha mengkhianati hasil. Tapi kalau nggak usaha, ya nggak akan ada hasil.

Di akhir obrolan, Jazzy mengaku masih punya mimpi besar. Tahun depan, ia ingin lagu-lagunya dikenal luas, punya fans yang benar-benar mengikuti karya, bukan hanya performa. Tapi sebelum sampai ke sana, ia tetap harus bangun pagi, ngaduk adonan, dan menyanyi malamnya.


Dari dapur masakan ke dapur rekaman, dari tepung ke panggung—itulah hidup seorang Jazzy Yudistira. Tak hanya soal seni, tapi juga tentang bertahan. Dan semoga, juga soal menang.


Share This Article