Di era digital yang serba cepat ini, setiap produk dan layanan berlomba-lomba menarik perhatian. Namun, berapa banyak dari kita yang benar-benar memahami apa itu branding? Seringkali, pandangan awam mengira branding hanyalah soal logo yang menarik, warna yang cerah, atau nama yang mudah diingat. Padahal, jauh di baliknya, branding adalah sebuah sistem kompleks yang membentuk persepsi publik dan menentukan keberlangsungan sebuah entitas.
Branding: Sebuah Sistem Komprehensif, Bukan Sekadar Desain
Dalam sebuah diskusi mendalam, kami berkesempatan berbincang dengan Vindra, seorang pakar komunikasi pemasaran dan branding, sekaligus pendiri konsultan branding independen. Obrolan Bukan Teori membuka mata tentang realitas dunia branding yang tak sesederhana bayangan kebanyakan orang.
Branding itu bukan hanya tentang sebuah logo, tone warna, tulisan, ataupun cuman sekadar nama,
Vindra, Branding Consultant
Secara pribadi, buat saya, branding itu memang sebuah sistem keseluruhan dari suatu produk, keseluruhan dari suatu korporat ketika mereka mempresentasikan sesuatu.
Vindra, Branding Consultant
Vindra menjelaskan, banyak yang keliru menyamakan branding dengan marketing atau bahkan sales. Padahal, branding memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Ia memperkenalkan empat dimensi utama dari sebuah brand: brand as person, brand as symbol, brand as corporate, dan brand as organization. Dimensi brand as symbol, yang seringkali hanya berfokus pada logo, warna, atau tagline, hanyalah satu dari empat pilar penting.

Padahal ada banyak banget brand as person, lanjutnya.
Makanya kenapa brand itu ketika mereka launch produk, seringkali mereka pakai brand ambassador, mereka hire talent, mereka hire orang-orang yang secara kredibilitas, mereka itu public known.
Ini menjelaskan mengapa figur publik atau influencer dengan persona kuat seringkali menjadi wajah dari sebuah brand, karena mereka merepresentasikan dimensi brand as person yang vital dalam membentuk persepsi.
Kisah Hot Wheels dan Panggilan Branding
Ketertarikan Vindra pada dunia branding ternyata berakar dari masa kecilnya yang unik. Ia terpesona oleh mainan Hot Wheels. “Kok bisa ya, mobil mainan kayak gini, kecil-kecil gini, itu banyak yang suka, laku? Cuman yang jadi pertanyaan, harganya mahal,” kenangnya. Pertanyaan polos seorang anak itu tak terjawab hingga ia menempuh pendidikan komunikasi.
“Setelah saya masuk kuliah, baru ngerti itu kayak arti komunikasi itu ternyata luas banget cakupannya. Dan salah satunya, seperti yang sekarang saya suka ini, jadi kayak menjawab pertanyaan dari masa kecil,” ujarnya. Ia menyadari, branding lebih dari sekadar tampilan luar. Ini tentang siapa target pasar, nilai apa yang dijual, dan pengalaman apa yang ditawarkan kepada konsumen. “Dulu tuh saya nganggap branding tuh cuma sekadar warnanya, bentuknya menarik, kayak gitu kan. Ternyata, setelah saya mulai mengerti beneran dunia branding itu kayak gimana, dan mulai masuk di profesional branding, ternyata itu enggak cuman ngomongin produknya doang.”
Tantangan Nyata: Menyelaraskan Visi di Balik Meja Rapat
Sebagai seorang konsultan branding independen, Vindra menghadapi tantangan terbesar bukan pada riset atau strategi, melainkan pada menyelaraskan visi dengan para pengambil keputusan, khususnya Board of Manager. “Yang paling susah itu buat saya itu ketemu dengan Board of Manager,” ungkapnya. “Karena di suatu brand, di suatu institusi, itu yang menentukan arah untuk produk itu di-launch, atau mereka itu mau bikin masyarakat itu persepsinya gimana sih, itu tuh semuanya ada dipegang sama atasan-atasan.”
Realita di lapangan seringkali berbeda dengan teori. Conflict of interest dan perbedaan value antarpihak internal menjadi hambatan utama. Brand bisa sustain hanya jika value yang dibangun konsisten. Namun, banyak pihak ingin hasil instan, memotong proses demi kecepatan dan keuntungan, tanpa menyadari dampak jangka panjang pada konsistensi value dan citra brand.

Integritas Branding: Antara Janji dan Realita
Dalam dunia branding, seringkali kita melihat diskrepansi antara apa yang dijanjikan sebuah brand dengan realita produk atau layanannya. Vindra tidak menampik fenomena ini. “Pernah sih saya nangani brand yang kayak gitu. Jadi memaksakan kehendak untuk dia itu minta kayak, pokoknya saya mau dipersepsikan brand saya ini begini, di depan mata customer-nya dia,” katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa generasi konsumen saat ini tidak mudah dibohongi. Mereka melek teknologi, kritis, dan mencari experience serta benefit yang nyata. “Generasi 4.0 lah, ya, bener. Tapi tetap aja si oknum ini itu memaksakan untuk brand ini, pokoknya saya maunya seperti ini,” tambahnya.
Vindra menekankan pentingnya autentisitas dalam value yang dibangun. Authentic value adalah tentang konsistensi, bukan sekadar viralitas. “Banyak banget tuh produk-produk yang ngikutin kan yang follow. Kayak misalnya kopi ini, kopi ini, kopi ini, menjamur kan gitu kan. Tapi pada akhirnya, kenapa kok enggak survive? Karena mereka enggak mempertahankan value-mu,” jelasnya. Integritas dan core value yang kuat menjadi kunci diferensiasi dan keberlanjutan sebuah brand.
Ketika Branding Berada di Ranah Kemanusiaan: Kasus Rumah Sakit
Menariknya, Vindra juga bekerja di bagian marketing komunikasi sebuah rumah sakit besar di Yogyakarta. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana menerapkan branding pada institusi yang sudah memiliki citra kuat dan tujuan yang sangat spesifik seperti rumah sakit?
“Ketika saya di hospital, memang branding sudah ada. Tapi balik lagi, namanya institusi atau person, untuk sustain, itu ada sesuatu yang harus dijaga,” jelas Vindra. Di sini, branding bukan lagi tentang menarik keuntungan, melainkan menjaga otentisitas dan kepercayaan. “Orientasinya bukan-bukan hanya tentang masalah pendapatan, pendapatan rumah sakit dan sebagainya, bagaimana pasien biar narik pasien datang ke kita. Enggak, enggak perlu. Tapi lebih ke bagaimana kita itu memberi trust kepada pasien.”
Menjaga citra dan value di institusi medis membutuhkan kehati-hatian ekstra, karena menyangkut keselamatan pasien. Setiap publikasi harus berbasis bukti dan tidak bisa dimanipulasi. Tantangan di rumah sakit adalah bagaimana membuat pasien merasa aman dan nyaman, di tengah kondisi psikologis mereka yang rentan.
Crafting Stories, Driving Change: Nilai yang Dipegang Teguh
Slogan pribadi Vindra, “Crafting Stories, Driving Change“, bukan sekadar frasa kosong. Ini adalah cerminan dari nilai yang ia pegang teguh, bahkan ketika menghadapi kegagalan. Ia mengakui pernah gagal dalam membangun brand minuman karena ketidaksepakatan value antara timnya dan pihak pengambil keputusan.
“Paling penting itu adalah kuncinya sinerginya,” kata Vindra. “Karena mau bagaimanapun kamu mau bangun brand-mu sebagus apapun, kalau sinergimu antara orang internal, orang yang memiliki keputusan, orang yang punya tanggung jawab di situ enggak oke sama ide yang kamu create, pada akhirnya pada waktu kamu eksekusi juga pada akhirnya akan gagal.”
Vindra menyoroti satu kendala besar dalam riset dan pengembangan (R&D) branding di Indonesia: sifat “tidak enakan” pada masyarakat. “Dibilang masyarakat yang enggak enakan, itu sebenarnya kalau kita ngomongnya realita, memang ada kan,” ujarnya. Sifat ini dapat memicu bias dalam hasil riset. “Kalau kita langsung kasih gratis ke masyarakat, mereka akan mengatakan enak. Dan itu pasti mereka mengatakan itu karena udah dikasih.”
Pengalaman Vindra menunjukkan, bias semacam ini bisa menyebabkan perusahaan mengandalkan hasil riset yang salah, berujung pada kegagalan brand dan kerugian finansial yang signifikan. “Di waktu kita testing itu mereka bilangnya oke, produk ini yang paling oke gitu. Cuman ternyata kok pas kita udah mau udah launching, loh kok tidak seperti yang kita ekspektasikan,” kisah Vindra. Ini menjadi pelajaran penting bagi praktisi untuk mengembangkan cara-cara meminimalisir bias tersebut.
Pada akhirnya, Vindra menyatakan tekadnya untuk tetap berada di jalur branding. Baginya, branding adalah “nyawa dari sebuah produk, nyawa dari sebuah merek.” Meskipun tantangan selalu ada, integritas dan value yang dipegang teguh akan selalu menjadi kompas dalam setiap langkah profesionalnya. Ini bukan hanya soal menciptakan cerita, tetapi bagaimana cerita itu mampu menggerakkan perubahan yang nyata dan positif.